Wednesday 15 March 2023

MAKALAH EKONOMI SYARIAH 2023

 Pendahuluan

Ekonomi Islam merupakan suatu sistem ekonomi yang berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam. Dalam sistem ekonomi ini, prinsip-prinsip syariah menjadi pedoman dalam kegiatan ekonomi, yang mencakup aspek-aspek seperti keuangan, investasi, perdagangan, dan sebagainya. Di Indonesia, ekonomi Islam semakin berkembang seiring dengan semakin banyaknya masyarakat yang memilih untuk menjalankan aktivitas ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Tahun 2023 diprediksi akan menjadi tahun yang menarik dalam perkembangan ekonomi Islam di Indonesia. Beberapa perkembangan penting diperkirakan akan terjadi, seperti perkembangan produk keuangan syariah, pengembangan teknologi digital dalam ekonomi syariah, serta pengawasan dan regulasi yang semakin ketat untuk mencegah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah dalam praktik bisnis.

Perkembangan Produk Keuangan Syariah

Di tahun 2023, produk keuangan syariah di Indonesia diperkirakan akan semakin berkembang dan inovatif. Hal ini didukung oleh semakin banyaknya permintaan dari masyarakat terhadap produk keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Salah satu produk keuangan syariah yang semakin populer adalah sukuk, yakni obligasi syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil.

Selain itu, produk keuangan syariah yang juga akan semakin berkembang di tahun 2023 adalah produk tabungan dan investasi syariah. Produk tabungan syariah dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi nasabah, karena tidak ada unsur bunga dalam produk ini. Sedangkan produk investasi syariah, seperti reksa dana syariah, juga akan semakin diminati oleh masyarakat yang ingin berinvestasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Pengembangan Teknologi Digital dalam Ekonomi Syariah

Teknologi digital semakin berkembang pesat di Indonesia, dan hal ini juga berdampak pada perkembangan ekonomi syariah. Di tahun 2023, diperkirakan akan semakin banyak platform digital yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam model bisnisnya, seperti platform e-commerce syariah, layanan keuangan digital syariah, dan sebagainya.

Selain itu, pengembangan teknologi blockchain juga diperkirakan akan semakin banyak digunakan dalam transaksi keuangan syariah. Teknologi blockchain dapat memberikan keamanan dan transparansi dalam transaksi keuangan syariah, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk keuangan syariah.

Pengawasan dan Regulasi untuk Mencegah Pelanggaran Terhadap Prinsip-prinsip Syariah dalam Praktik Bisnis

Meskipun ekonomi syariah semakin berkembang di Indonesia, masih terdapat potensi adanya penyelewengan dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip syariah dalam praktik bisnis. Hal ini terutama terkait dengan praktik keuangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maysir (perjudian). Oleh karena itu, di tahun 2023, diperkirakan akan semakin ketat pengawasan dan regulasi terhadap praktik bisnis yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memperkuat pengawasan dan regulasi terhadap praktik bisnis yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, seperti pembentukan Badan Pengawas Syariah (BPS), penerapan Standar Akuntansi Syariah (SAS), dan sebagainya. Di tahun 2023, diperkirakan akan terjadi perbaikan dan peningkatan dalam pengawasan dan regulasi ini, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap praktik bisnis yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.

Referensi

  1. Bank Indonesia. (2021). Laporan Tahunan Bank Indonesia 2020. Diakses dari https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/Pages/default.aspx

  2. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2021). Rencana Aksi Nasional Keuangan Syariah 2020-2024. Diakses dari https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/renstra/renstra-kemenkeu/renstra-kemenkeu-2020-2024/

  3. Otoritas Jasa Keuangan. (2021). Rencana Strategis OJK 2020-2024. Diakses dari https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Documents/RENSTRA%20OJK%202020-2024.pdf

  4. Syafi'i, M. (2021). Ekonomi Islam di Indonesia: Tantangan dan Prospek. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Friday 2 December 2016

MAKALAH URUF DAN DZARI’AH


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar  belakang
Ilmu ushul fiqh adalah instrument yang sangat penting dan harus di penuhi oleh siapapun yang ingin mengetahui mekanisme Uruf dan Dzari’ah sebagai salah satu sumber hukum Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan materi  Uruf dan Dzari’ah  pengusaan materi ushul fiqh ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar pemahaman tentang materi ini tidak salah dan menyimpang dari aturan Islam. Meskipun ada sebuah perdebatan dan pertentangan dalam menjadikan Uruf dan Dzari’ah sebagai salah sumber Islam dalam kalangan ulama’.
Dalam zaman modern ini muncul permasalahan-permasalahan baru yang timbul dalam kehidupan umat Islam yang belum atau tidak di temukan hukum syara’ yang menjadikan dasar atau dalil dalam masalah-masalah tersebut. Oleh sebab itu, maka kita sebagai generasi muda generasi penerus perjuangan para ulama’ sudah septutnya kita mengerti dan memahami secara sepenuhnya pembahasan tentang Uruf dan Dzari’ah, agar tidak salah pemahaman dalam menjadikan Uruf dan Dzari’ah sebagai salah satu sumber hukum ajaran Islam.
B.     Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian Uruf dan Dzari’ah?
2.         Apa macam-macam Uruf dan contohnya?
3.         Bagaimana kehujjahan Uruf dan Dzari’ah?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Uruf  dan Dzari’ah.
2.      Untuk mengetahui macam dan contoh dari Uruf.
3.      Mengetahui kehujjahan dari Uruf dan Dzari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Uruf
Dilihat dari segi bahasa, kata Uruf berarti sesuatu yang di kenal. Kata lain yang sepadan dengannya adalah adat. Uruf secara etimologi berarti sesuatu yang di anggap atau di pandang baik, yang dapat di terima akal sehat.menurut istilah syara’, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahra: sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka.
 Menurut kebanyakan ulama’, Uruf dinamakan juga adat sebab perkara yang sudah di kenal itu dilakukan oleh mausia berulang kali. Namun, sebenarnya adat itu lebih luas daripada Uruf sebab, adat kadang-kadang teriri adat perseorangan atau bagi orang tertentu, sehingga hal ini tidak bisa dinamakan Uruf. Dan kadang-kadang terdiri atas adat masyarakat. Maka inilah yang di sebut Uruf. Para ulama’ ushul fiqh membedakan antara adat dan Uruf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat di definisiakn sebagai: sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional. Sedangkan  menurut ulama’ ushul fiqh Urud adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan dan perbuatan.[1]
1.      Macam-macam Uruf
a)      Dari segi objeknya, Uruf  di bagi dalam[2]:
1)   Al-Uruf Al-lafzhi / Qauly
Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu untuk mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan daging yang berarti daging sapi, padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apbila seseorang mendatangi penjual daging, yang menjual bermacam-macam daging, allu pembeli mengatakan “saya ingin membeli daging satu kilo” pedagang langsung mengambilkan daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat yang mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

2)      Al-Uruf Amali / My
Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan atau muamalah. Umpamanya, kebiasaan dalam jual belibarang-barang yang kurang bernilai. Transaksi antara penjual dan pembeli hanya cukup dengan pembeli menerima barang dan penjual menerima uang tanpa adanya akad. Kebiasaan mengambil rokok di antara sesame teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi juga tidak bisa dianggap pencurian.
b)      Di lihat dari ruang lingkup penggunaannya, Uruf di bagi menjadi dua macam.
1)      Uruf  Umum
Yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana saja hamper di seluruh penjuru dunia tanpa memandang Negara, bangsa, dan agama. Contohnya, menganggukkan kepalapertanda setuju dan menggelengkan kepala pertanda menolak. Jika ada orang melakukan ebalikan dari itu, orang itu dianggap aneh atau ganjil. Contoh lain, mengibarkan bendera setengah tiang menandakan duka cita untuk kematian oaring yang dianggap terhrmat.
2)      Uruf khusus
Yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok oaring di tempat tertentu atau pada waktu tertentu dan tidak berlaku di sembarang waktu dan tempat. Umpamanya, adat menarik garis keturnan melalui garis ibu atau perempuan (matriliniel) di Minangkabau atau melalui bapak (patrilineal) di jalangan suku batak. Bagi masyarakat umum, penggunaan kata budak di anggap menghin, karena kata itu berarti hamba sahaya. Tapi bagi masyarakat tertentu, kata budak biasa digunakan untuk memanggil anak-anak.
c)      Di lihat dari baik buruknya, Uruf di bagi menjadi dua macam, yaitu:
a.    Uruf  saffih
Yaitu kebiasaan yang di lakukan secara berulang-ulang, di terima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan norma agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Umpamanya, member hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat  pada waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bi halal (silaturrahim) pada hari raya, member hadiah sebagai penghargaan atas prestasi, dan sebagainya.
b.    Uruf fasid
Yaitu adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang dasar, dan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan peristiwa perkawinan atau meminum minuman keras pada hari ulang tahun.
2.      Syarat-syarat Uruf
Uruf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan berfatwa, dan para hakim dalam memutuskan perkara disyaratkan sebagai berikut:
1)   Uruf tidak bertetangan dengan nash yang qath’i
2)   Uruf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku.
3)   Uruf harus berlaku selamanya. Maka tidak di benarkan uruf yang datang kemudian. Oleh karena itu, syarat orang yang berwaqaf harus di bawakan kepada uruf pada waktu mewaqafkan meskipun bertentangan dengan uruf yang datang kemudian. Maka para fuqaha’ berkata, “tidak di benarkan uruf yang datang kemudian.”[3]
3.      Kehujjahan Uruf
Mengenai kehujjahan Uruf terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama’ ushul fiqh, yang menyebabkan imbulnya dua golongan dari mereka:
1.      Golongan hanafiyah dan malikiyah berpendapat bahwa uruf adalah hujjah untuk menetapkan hukum.alasan mereka adalah firman Allah SWT (QS. Al-A’raf: 199):
2.      Golongan syafi’iah dan hanbaliyah, keduanya tidak menganggap uruf itu sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i.

Dari berbagai kasus uruf yang di jumpai, para ulama’ ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan uruf, diantaranya adalah yang paling mendasar:
                          i.            العادة محكمة                                                                                              
Artinya: “adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”
                        ii.              لاينكر تغيرالاحكام بتغير الازمنة الامكنة
Artinya: “ tidak di ingkari perubahan hukum di sebabkan perubahan zaman dan tempat.”
                      iii.            “Yang baik itu menjadi uruf, sebagaimana yang di isyaratkan itu menjadi isyarat.”
                      iv.            “Yang di tetapkan melalui uruf sama dengan yang di tetapkan melalui nash (ayat dan atau hadis).”
Para ulama’ ushul feqih juga sepakat, bahwa hukum-hukum yang di dasarkan pada uruf bisa berubah sesuai dengan perubahan masyarakat pada zaman dan tempat tertentu.[4]
B.     Saddu Dzari’ah
1.      Pengertian saddu dzari’ah
Saddu dzaria’ah terdiri atas dua kata yaitu saddu dan dzari’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedangkan dzari’ah berarti jalan. Secara lughawi dzaria’ah itu berarti : jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawai, baik atau buruk. Saddu dzari’ah secara istilah ialah mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.
Tujuan di tetapkan hukum secara saddu dzari’ah ini adalah memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkaran perbuatan maksiat.[5]
2.      Dasar hukum saddu dzari’ah
Dasar hukum dari saddu dzari’ah ialah Qur’an dan Hadis, yaitu:
a.       Firman Allah SWT:
Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ  
“dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Mencaci berhala tidak di larang Allah tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu kearah tindakan orang-orang musrik mencaci dan memaki Allah cara melampaui batas

b.      Firman Allah SWT :
* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qãèÎ6­Gs? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 `tBur ôìÎ7®Ktƒ ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# ¼çm¯RÎ*sù âßDù'tƒ Ïä!$t±ósxÿø9$$Î/ ̍s3ZßJø9$#ur 4 Ÿwöqs9ur ã@ôÒsù «!$# ö/ä3øn=tæ ¼çmçGuH÷quur $tB 4s1y Nä3ZÏB ô`ÏiB >tnr& #Yt/r& £`Å3»s9ur ©!$# Éj1tム`tB âä!$t±o 3 ª!$#ur ììÏÿxœ ÒOŠÎ=tæ ÇËÊÈ  
21. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Wanita menghentakkan kakinyna sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya, tetapi perbuatan itu akan menarik hati laki-laki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.
c.       Nabi Muhammad bersabda yang artinya: “ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaanya. Barang siapa mengembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus kedalamnya” (HR.Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menerangkan mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu dari pada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.[6]
3.      Kedudukan Saddu Dzari’ah
Meskipun hampir semua ulama’ dan penulis ushul fiqh menyinggung tentang saddu dzari’ah, namun amat sedikit yang membahasnya dalam pembahasan khusus secara tersendiri. Ada yang menempatkan bahasanya dalam deretan dalil-dalil syara’ yang tidak di sepakati oleh ulama’. Di temapatkannya addzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum meskipun di perselisihkan penggunaannya mengandung arti bahwa meskipun syara’ tidak menetapkan secara jelas mengenai hukum suatu perbuatan, namun karena perbuatan itu di tetapkan sebagai wasilah bagi suatu perbuatan yang di larang secara jelas, maka hal ini menjadi petunjuk atau dalil bahwa hukum wasilah itu adalah sebagaimana hukum yang di tetapkan syara’ terhadap perbuatan pokok. Masalah ini menjadi perhatian ulama’ karena banyak ayat-ayat al qur’an yang mengisyaratkan kearah itu, umpamanya :
1.      Surat al an’am (6) : 108
Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ  
108. dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
2. Surat An Nur (24) : 31
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Dari dua contoh ayat di atas terlihat adanya larangan bagi perbuatan yang dapat menyebabkan sesuatu yang terlarang, meskipun semula pada dasarnya perbuatan itu boleh hukumnya. Dalam hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi ulama’ adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi :       
a.       Sisi yang mendorong untuk berbuat
b.      Sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (kesimpulan/akibat) dari perbauatan itu.[7]
4.      Pengelompokan saddu dzari’ah
Dzari’ah dapat di kelompokan di lihat dari beberapa segi
a)      Dengan memandang kepada akibat atau dampak yang di timbulkannya, ibnu qoyyim membagi dzari’ah menjadi 4 yaitu :
1)      Dzari’ah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum minuman yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk, perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2)      Dzari’ah yang di tentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukkan untuk perbuatan yang buruk, baik dengan sengaja seperti nikah muhalil atau tidak sengaja seperti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun karena di lakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidak boleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah SWT menjadi terlarang melakukannya.
3)      Dzari’ah yang semula di tentukan untuk mubah, tidak di tujukan untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya, seperti berhiasnya seorang perempuan yang baru kematian suaminya dalam masa iddah. Berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya menjadi lain.
4)      Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah namun terkadang membawa kerusakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil di banding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat di pinang.

b)   Dari segi tingkat kerusakan yang di timbulkan, abu ishaq asy syatibi membagi dzari’ah kepada 4 macam yaitu :
1)      Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak di hindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpanya menggali lubang di tanah sendiri dekat pintu rumah seseorang di waktu gelap dan setiap orang yang keluar dari rumah itu pasti akan terjatuh kedalam lubang tersebut. Sebenarnya menggali lubang itu boleh-boleh saja. Namun penggalian yang dilakukan dalam kondisi yang seperti itu akan mendatangkan kerusakan.
2)      Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau dzari’ah itu di lakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang di larang. Umpanya menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuman keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya. Menjaual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang di jual itu di jadikan minuman keras, namun menurut kebiasaan pabrik minuman keras membali anggur untuk di olah menjadi minuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat tersebut kemungkinan besar akan di gunakan untuk membunuh atau menyakiti orang lain.
3)      Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakannya. Hal ini berarti dzari’ah tidak di hindarkan sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang. Umpanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual bali kredit itu membawa kepada riba’, namun dalam prakeknya sering di jadikan sarana untuk riba’.
4)      Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, balum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpanya menggali lubang di kebun sendiri yang jarang dilalui orang. Menurut kebiasaannya tidak ada orang yang berlalu atau lewat di tempat itu yang akan terjatuh kedalam lubang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh kedalam lubang.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Menurut istilah syara’, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahra: sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan manusia dalam pergaulannya dan sudah mantap dan melekat dalam urusan-urusan mereka. Uruf dinamakan juga adat sebab perkara yang sudah di kenal.
Saddu dzaria’ah terdiri atas dua kata yaitu saddu dan dzari’ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedangkan dzari’ah berarti jalan. Secara lughawi dzaria’ah itu berarti : jalan yang membawa kepada sesuatu, secara hissi atau ma’nawai, baik atau buruk. Saddu dzari’ah secara istilah ialah mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.

















DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sanusi dan Suhari.. Ushul Fiqh Jakarta: Raja Grafindo Persada 2015
Amir syarifuddin.. Ushul FIqh 2 Jakarta: Kencana. 2011
Siap UN mata pelajaran Fiqih MA Aliyah Al-Anwar Sarang XII.
Uman Khairul. Dkk. Ushul Fiqh 1, Bandung:  Pustaka Setia. 1998





[1] Uman Khairul. Dkk. 1998 Ushul Fiqh 1, Pustaka Setia. Bandung. Hlm. 159
[2] Siap UN mata pelajaran Fiqih MA Aliyah Al-Anwar Sarang XII. Hlm. 123
[3] Uman Khairul. Dkk. Op.cit hlm. 164-166
[4] Uman Khairul. Dkk Opcit. 166
[5] Ahmad Sanusi dan Suhari. 2015. Ushul Fiqh Raja Grafindo Persada: Jakarta. Hlm 90  
[6] Ahmad Sanusi dan Suhari. Ibid. Hlm. 91
[7] Amir syarifuddin. 2011. Ushul FIqh 2 Kencana: Jakarta. Hlm 425-427
[8] Amir syarifuddin Ibid.Hlm. 427-429